Oleh : Muhammad Fakhri. HS

KABAR SAROLANGUN – Pelantikan pengurus baru Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Sarolangun masa bakti 2025–2030, dinahkodai oleh bapak Ali Umar,S.Pd, M.Si, bukan hanya seremoni pergantian kepemimpinan. Ia adalah simbol harapan baru, energi baru, dan komitmen yang diperbarui dalam memperjuangkan kemajuan dunia pendidikan di tingkat daerah. Di tengah berbagai tantangan pendidikan yang semakin kompleks, kehadiran pengurus PGRI yang baru harus dimaknai sebagai momentum konsolidasi kekuatan guru, bukan hanya secara organisasi, tapi juga secara moral dan intelektual.
PGRI Sarolangun : Dari Representasi Menjadi Penggerak
Sebagai organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia, PGRI memiliki peran penting dalam mengawal profesionalisme dan kesejahteraan guru. Di Sarolangun, peran ini terasa semakin relevan. Dengan latar belakang geografis yang beragam—mulai dari kawasan kota hingga pelosok pedesaan—guru di Sarolangun membutuhkan organisasi yang benar-benar hadir dan responsif terhadap kebutuhan nyata mereka.
Pengurus baru PGRI Sarolangun diharapkan tidak hanya menjadi perpanjangan tangan struktur organisasi, tetapi menjadi penggerak perubahan pendidikan berbasis realitas daerah. Mereka mesti mampu menjembatani aspirasi guru, menjalin kolaborasi aktif dengan pemerintah daerah, serta menginisiasi program-program yang berdampak langsung pada mutu pengajaran dan pembelajaran.
Harapan Guru : Perlindungan, Pelatihan, dan Perubahan
Bagi banyak guru di Sarolangun, pelantikan pengurus baru bukan sekadar formalitas. Harapan besar disematkan di pundak mereka—mulai dari peningkatan perlindungan profesi, penguatan kapasitas melalui pelatihan berkelanjutan, hingga advokasi kebijakan yang berpihak pada guru dan peserta didik. Dalam era Kurikulum Merdeka dan digitalisasi pendidikan, PGRI tidak cukup menjadi tempat berlindung, tapi harus menjadi tempat bertumbuh.
Sudah waktunya PGRI Sarolangun menyusun peta jalan baru: bagaimana organisasi ini dapat menjawab tantangan literasi rendah, ketimpangan fasilitas pendidikan, hingga rendahnya partisipasi guru dalam inovasi pembelajaran. Tantangan ini tak bisa dihadapi hanya dengan retorika, tapi dengan strategi dan kerja nyata.
Membangun Sinergi dengan Pemerintah dan Masyarakat.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah kedekatan PGRI Sarolangun dengan Pemerintah Daerah, khususnya Bupati Sarolangun dan Dinas Pendidikan. Hubungan yang harmonis ini perlu terus diperkuat, agar kebijakan pendidikan tidak sekadar datang dari atas ke bawah, tapi lahir dari dialog yang setara antara pengambil kebijakan dan para pelaksana pendidikan di lapangan.
PGRI juga harus mulai merangkul elemen masyarakat lainnya—komite sekolah, tokoh adat, dunia usaha, dan media—untuk bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang sehat. Karena pendidikan bukan tanggung jawab satu pihak, melainkan urusan kolektif seluruh warga bangsa.
Penutup : Saatnya PGRI Sarolangun Bangkit Lebih Kuat.
Pelantikan pengurus PGRI Kabupaten Sarolangun masa bakti 2025–2030 adalah titik awal, bukan titik akhir. Ini bukan akhir sebuah kontestasi, tapi awal dari kolaborasi. Guru-guru Sarolangun menanti arah baru yang lebih nyata dan membumi. Mereka berharap PGRI tidak hanya hadir saat upacara atau HUT organisasi, tapi juga hadir saat guru menghadapi masalah di sekolah, ketika guru di desa membutuhkan pelatihan dan dukungan moral.
PGRI Sarolangun memiliki potensi besar menjadi organisasi profesi yang progresif, inklusif, dan berpengaruh. Dengan semangat baru dan kepemimpinan yang visioner, PGRI bisa menjadi pelita pendidikan di Bumi Sepucuk Adat Serumpun Pseko—dan menjadi inspirasi bagi kabupaten lain di Provinsi Jambi maupun Indonesia.
Penulis adalah penggiat pendidikan dan pemerhati sosial di Kabupaten Sarolangun