
KABAR SAROLANGUN –Dibalik kegiatan suro melangun, selusur Sejarah Sarolangun ada cerita yang sangat menarik, terkait asal usul Nama Sarolangun, yang mesti diketahui oleh masyarakat Sarolangun khususnya.
Suro Melangun ini diikuti langsung oleh Penjabat Bupati Bupati Sarolangun Dr Ir Bachril Bakri, M.App, Sc, beserta ibu Ny Indah Dewi Bachril, Kapolres Sarolangun AKBP Imam Rachman, S.IK, Kajari Sarolangun Zulfikar Nasution, SH, MH, Ketua PN Sarolangun Deka Diana, SH, MH, Danramil 420-01 Batang Asai Kapten INF M Suhadi, Ketua LAM Jambi Kabupaten Sarolangun Helmi, SH, MH, dan Kadisparpora Sarolangun H Saipullah, S.Sos, MH.
Selain itu, hadir juga sejumlah kepala OPD di lingkungan Pemkab Sarolangun, Camat Sarolangun Bustra Desman, SE, MM, Kapolsek Sarolangun Iptu Dwiyatno, SH, Kades Lidung Zuhrizal, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh adat dan tokoh agama.
Saat kunjungan ke makam Syekh Abdul Gani Tjokro Aminoto Rio Depati Rd. Jayaningrat Singodilago, ulu balang rintik hujan panas Panglimo Siamang gagap di Desa Lidung, Tiblawi Syarif, S.Sy, MH, menceritakan sejarah asal usul Sarolangun dihadapan PJ Bupati Sarolangun beserta jajaran, tepat di makam tokoh syekh Tjokro Aminoto yang bersejarah tersebut.
Tiblawi Syarif mengatakan bahwa asal-usul Sarolangun dimulai sejak kedatangan Tjokroaminoto ke kepulauan Nusantara untuk mengembangkan agama Islam.
Tjokroaminoto ini lahir di Turki perkiraan pada tahun 1446 M/848 H. Pada usia 17 tahun (1463 M/ 865 H), bersama 10 orang berangkat ke Kepulauan Nusantara, untuk mengembangkan Agama Islam.
Dari sepuluh orang dalam rombongan ini, mereka berpencar ada yang ke pulau Kalimantan, Aceh dan Cokroaminoto sendiri Ke pulau Jawa tepatnya ketika itu di sebut dengan Tanah Dataran Mataram.
” Setibanya di tanah dataran Mataram Tjokroaminoto belajar dengan dua orang Wali Songo yaitu, Sunan Giri / Raden Paku dan Sunan Kudus, dan dengan pada Kiyai dan Ulama yang ada di Tanah Dataran Mataram ketika itu,” katanya.
Disamping belajar, Tjokroaminoto rajin berinteraksi dengan penduduk setempat sambil menyampaikan dakwah islam. Di karenakan pada masa itu mayoritas penduduk setempat masih di dominasi agama hindu, sulit bagi Tjokroaminoto ini membaur, masih memakai panggilan nama aslinya yaitu Syekh Abdul Ghani.
” Karena itu lah nama aslinya Syekh Abdul Ghani di ganti degan nama Tjokroaminoto. Selama lebih kurang 4 tahun berada di Tanah Dataran Mataram ini, Tjokroaminoto di perintahkan oleh Sunan Giri untuk menyebarkan dakwah islam ke pulau Sumatera,” katanya.
Sebelum berangkat ke pulau Sumatera, Tjokroaminoto sempat kembali ke Turki menemui orang tua nya untuk meminta izin ke pulau Sumatera atas perintah gurunya. Orang tuanya memberi izin dan menyampaikan bahwa di pulau Sumatera ada keluarga orang tuanya yang bernama Ahmad Salim.
” Dua misi yang akan di bawa oleh Tjokroaminoto ini ke pulau Sumatera yaitu menyebarkan islam dan mencari keluarga orang tuanya,” katanya.

Keberangkatan Tjokroaminoto ke pulau Sumatera ini yang ketika itu pulau Jawa dan pulau Sumatera masih menyatu, berangkatlah Tjokroaminoto ini dengan dua orang temannya yaitu, Purnomo (yang di kenal dengan nama Panglimo Adi Dayo Sakti atau Panglimo Jayo Sakti) yang asli orang Jawa Mataram dan Abu Bakar (Orang Tuo Kembang) berasal dari Jawa Banten.
Gunung Peristiwa keberangkatan Tjokroaminoto dengan dua orang temannya dari Tanah Dataran Sumatera perkiraan pada tahun 1467 M/869 H. Mataram ke Pulau ini sudah dapat informasi Sebelum keberangkatan ke Pulau Sumatera, Cokroaminoto bahwa yang nama Ahmad Salim ada di Kerajaan Melayu di Ujung Jabung.
Setelah bertemu dengan Ahmad Salim di Ujung Jabung yang merupakan pusat Kerajaan Melayu yang di pimpin oleh Putri Pinang Masak, Tjokroaminoto dengan dua orang temannya ini tinggal bersama di Ujung Jabung ini.
Lebih kurang 3,5 tahun, salah seorang teman Tjokroaminoto ini yang bernama Purnomo, ingin mencari keluarganya yang sama-sama dari Mataram yang kabarnya berada di perbatasan Kerajaan Melayu dengan Palembang.
” Berangkatlah tiga orang pemuda ini yang di lepas oleh Putri Selaras Pinang Masak dan Ahmad Salim dengan menggunakan perahu kayu, di bekali dengan isi ubi hitam untuk persediaan makanan di jalan,” katanya.
Dalam perjalanan menyusuri sungai batang hari, terus masuk ke sungai tembesi dalam perjalanan lebih dari 10 hari, pada suatu sore di lihat awan hitam di bagian uluan sungai dan tidak lama turun hujan sangat lebat.
Dilihat di atas tebing sungai ada kayu besar, maka berteduh lah tiga orang pemuda ini di bawah pohon kayu besar sampai tertidur.
Pagi harinya mereka terjaga oleh sengatan sinar matahari pagi dan bergegas melaksanakan sholat subuh dan langsung berangkat kembali menyusuri sungai tembesi.
Belum begitu jauh, air sungai tembesi ini makin lama makin deras, sehingga perahu sulit untuk melaju, kemudian di putuskan untuk membongkar sebagian isi perahu yaitu ubi hitam dan kembali ke tempat mereka berteduh di situlah sebagian isi perahu itu diletakkan.
Sampailah tiga pemuda ini di Mangkadai yang sekarang di sebut dengan dusun Mangkadai Desa Temenggung Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun dan bertemulah dengan keluarga Purnomo ini yang bernama Suyono.
Tjokroaminoto pun ikut bersama Suyono dan membuka lahan pertanian di daerah Malko, dan menikah di Mlako dengan seorang perempuan yang bernama Siti Halimah yang berasal dari daerah Muara Tiku Pinang Balarik Sumatera Selatan, perkiraan pada tahun 1474 M/876 H.
” Selama tinggal di Malko keluarga Tjokroaminoto ini di karuniai 3 seorang anak yaitu, Makmun Murad (Rio Bagindo Tuo) perkiraan lahir pada tahun 1476 M/878 H, anak kedua yaitu Bakri (Rio Kato Suro) lahir perkiraan tahun 1478 M/ 880 H, ketiga yaitu perkiraan lahir tahun 1480 M / 882 H,” katanya.
” Baharuddin (Rio Karto Kemudian keluarga Cokroaminoto pindah ke Tangkui (Desa Tangkui Kecamatan Batang Asai) di sini dikaruniai anak satu orang yang bernama Tibroni (Rio Karto Manggalo) tahun 1483 M/885 H Mandaharo) perkiraan lahir pada Selama di Tangkui ini Cokroaminoto banyak di datangi orang-orang dari Mura Tara di Muara Kulam untuk belajar agama islam,” kata dia menambahkan
Ketika Tibroni dengan menggunakan dua buah rakit buluh menyusuri sungai batang asai dengan tujuan untuk mencari tempat yang baik untuk dijadikan kawasan pemukiman (membuat dusun) Sampailah rombonganTjokroaminoto ini di Ujung Tanjung Sarolangun sekarang yang ketika itu Ujung Tanjung Masih hutan belantara, belum ada penduduk sama sekali ini tahun 1485 M/887 H.
Dua tahun kemudian datang Putri Selaras Pinang Masak ke Ujung Tanjung dan memberikan petunjuk dan nasihat ke Tjokroaminoto, untuk mengembangkan kawasan ini. Tjokroaminoto mencari tempat pengembangan wilayahnya, yang teringat pada waktu itu di mana tempat yang pernah meletakkan ubi waktu dahulu.
Dan bertemulah tempat tersebut yang di lihat dari kejauhan bahwa akar dan ubi hitam sudah melilit pada batang kayu, yang ternyata itu adalah Kayu Aro, di kenalilah tempat itu sebutan ubi aro( biaro).
Selama di Biaro Cokroaminoto di karuniai 3 orang anak yaitu ) Singopati (Syekh Mawardi) dengan Intan Mas (Mastura). kedua Intan Rami (Zulaikha) dan ketiga adalah Dari Biaro inilah Tjokroaminoto mengembangkan wilayah nya ketempat-tempat lain seperti Bernai, Sebakul Teluk Tigo dan Lubuk Sepuh, sedangkan di wilayah Biaro di dan Dusun Tuo Tambak Kemuning.
Lalu di kembangkan ke Tanjung Putus, Setelah perkembangan wilayah, di Ujung Tanjung dijadikan Pusat Pemerintahan Kerajaan ekonomi ( Pasar ) selalu mendapat gangguan keamanan dan ketertiban dan pusat masyarakat.

Pada tahun 1525 M/927 H, Tjokroaminoto mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Majapahit untuk menjaga keamanan di Ujung Tanjung peristiwa ini di perkirakan lebih dari 60 orang pasukan yang di pimpin seorang panglima, yang dikenal Panglimo Linggam.
Dengan Setelah semuanya kondusif, aman dan tidak ada lagi para pengacau di Ujung Tanjung pada saat itulah Cokroaminoto dengan Panglimo Jayo Sakti ingin memisahkan antara Pusat Pimpinan Kerajaan dengan Pusat Ekonomi (pasar ) dan pemukiman penduduk sebelumnya menyatu di Ujung Tanjung.
Yang Setelah di temukan lahan yang cocok dan di perhitungan dari segala sisi, tentang transportsasi, maka dipisahkan lah pasar dengan pusat Pimpinan Kerajaan dan pemukiman penduduk, yang tepatnya sekarang di pangkal jembatan Beatrix pasar bawah Sarolangun.
Setelah pasar terbentuk di tentukanlah hari kalangan (hari pasar) yaitu hari Jum’at, untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim maka antara Ujung Tanjung dan pasar dibuatlah sebuah masjid yang sederhana untuk umat islam melakukan sholat jum’at pada tiap-tiap hari kalangan.
Untuk memisahkan nama pasar Ujung Tanjung sebagai pusat pemimpin kerajaan, maka nama pasar yang masih menyebut pasar Ujung Tanjung, maka di carilah nama lain dari Ujung Tanjung.
Terjadi musyawarah keluarga di Biaro ini untuk membuat nama pasar, dengan melibat beberapa orang untuk memberikan usulan.
Ada beberapa usulan, untuk nama pasar tersebut diantaranya ada yang mengusulkan di kaitkan dengan nama peristiwa-peristiwa yang terjadi di Ujung Tanjung dan Biaro yaitu peristiwa Samun Komring, peristiwa perebutan cucu yaitu Saro Ngelamun, ada yang mengusul nama nama daerah seperti Surulangun, Sumulangun, Surolangun.
Untuk mengakomodir dari usulan semua itu, maka di sepakatilah nama pasar tersebut dengan nama Sarolangun, peristiwa ini terjadi pada tahun 1527 M / 929 H sampai sekarang nama Sarolangun menjadi salah satu daerah otonomi dengan sebutan Kabupaten Sarolangun yang dimekarkan pada tahun 1999 Masehi dari Kabupaten Sarko.
” Keberadaan Tjokroaminoto di Sarolangun ini di mulai pada tahun 1485 M / 887 H sampai tahun 1551 M/953 H. (66 tahun ).Beliau wafat pada tahun 1551 dalam usia 105 tahun. pada Tjokroaminoto yaitu : Nama dan jabatan serta gelar yang melekat yakni Syekh Abdul Ghani Cokroaminoto Rio Depati Raden Jayo diningrat lago.

Singo di Daerah atau tempat-tempat yang ada hubungan Keturunan, Kekeluargaan dan Persaudaraan dengan Tjokroaminoto yaitu;
Dalam Kecamatan Sarolangun, yakni Desa Lidung, Ujung Tanjung Kelurahan Dusun Sarolangun, Gunung Kembang, Desa Ladang Panjang, Desa Bernai, Desa Sungai Baung Kampung Empat.
Dalam Kecamatan Batin VIII sarolangun, yakni Desa Teluk Kecimbung., Desa Dusun Dalam, Desa Pulau Melako, Desa Batu Penyabung, dan Desa Tanjung Gagak.
Dalam Kecamatan Pelawan, ada Desa Lubuk Sepuh dan Desa Rantau Tenang.
Dalam Kecamatan Limun, Yakni Dusun Mangkadai Desa Tamenggung, Desa Bukit Bulan, dan Desa Bukit Tigo yang ada di Kecamatan Singkut.
Dalam Kecamatan CNG, yakni Desa Lubuk Resam, dan Dusun Sebakul Desa Teluk Tigo.
Dalam Kecamatan Batang Asai,nyainibDesa Kasiro dan Desa Tangkui.
Dalam Kecamatan Mandiangin, yakni Desa Mandiangin Tuo, Desa Muaro Ketalo, Desa Bukit Peranginan, serta Desa dalam Kecamatan Air Hitam.
Diluar Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin 37 Desa Rantau Panjang Merangin, Perbatasan antara Jangkat dan Kerinci. Di Kabupaten Kerinci, ada Desa Pulau Tengah.
Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kecamatan Sadu, yakni Desa Sungai Lokan, Desa Sungai Itik.
Diluar Provinsi Jambi yaitu Sumatera Selatan,,di Kabupaten Mura Tara,,Ogan Komring Ilir. Di Provinsi Bengkulu, Daerah Rejang Lebong.
Di Provinsi Aceh Nangro Darussalam,, di Kalimantan (Martapura). – Di Pulau Jawa yaitu Seputar Tanah Dataran Mataram,Jawa Tengah dan Jogjakarta, Tebu Ireng di awa Timur, dan Di Luar Negeri Yaitu ,,Di Berunai Darussalam dan Turki.
Sumber : Dokumen Cerita Tiblawi Syarif
Editor : A.R Wahid Harahap